Jangan pernah katakan aku meninggalkanmu;

Aku, bahkan tak pernah beranjak dari langkahku semula.

Kau selalu bilang bahwa kau ingin sekali pergi.

Ke mana? Aku selalu bertanya;

Jauh, kau selalu menjawab.

Jangan pernah katakan aku meninggalkanmu;

Tahukah kau, bahwa aku selalu percaya bahwa kau ‘kan selalu kembali?

Padaku. Padaku.

Seperti semut pada sarangnya;

Atau dedaunan pada tanah.

Aku lautmu, Air.

Tempatmu selalu bermuara.

Selalu.

Dan kukira semua memang berjalan sesuai takdirnya.

Satu-satunya hal paling goblok yang pernah dilakuin Barsena adalah, ngelaminating kartu bayaran.
--Luthfi Ridwan, sambil menerawang

ada yang berubah dari embun pagi ini

disinggahinya dedaunan

tapi tidak jendelaku

Burung Berhantu

Pagi-pagi udah ngesearch kayak gini gara-gara galau. Ceritanya, beberapa hari lalu jalan-jalan sama Cungek, Ditya, Feysa, dan Pajay ke Pasar Burung Sukahaji, liat-liat binatang peliharaan. Feysa yang asalnya mau pelihara kuskus pindah haluan jadi mau pelihara kucing, dan aku kepengaruh Pajay yang pengen pelihara burung hantu. Pengen juga, lucu soalnya. Pertama kali bilang ke Ibu, nggak boleh, katanya takut. Takut apa? Takut aja, katanya. Setelah Ibu bilang ke Ayah jadinya boleh karena siapa tau kalo dibolehin, burung hantunya bakal diurus. Siapa tau kalo dibolehin, aku jadi ada kerjaan, jadi ada keinginan buat ngurus sesuatu.

Semales itukah aku di rumah?

Tapi YULY (Ya Udah Lah Ya), yang penting dibolehin. Malem-malem langsung sms Pajay, ‘Jay, aku dibolehin!’ dan pagi ini harusnya udah janjian ke Pasar Burung Sukahaji lagi, beli burung hantu yang tadinya mau dinamain ‘Malaka’.

Tapi tadi malem tanteku terus bilang, ‘Ga boleh pelihara burung hantu ih, dosa!’ katanya burung hantu itu binatang setan, katanya dia temenan sama setan, katanya dia pemanggil hantu. Katanya, kalo pelihara burung hantu, nanti takut ada kejadian apa-apa di rumah, sama orang-orang rumah. Katanya, sebelum beli, coba tanya sama ajengan (kyai). Ntar cari di Google deh, tapi Google kan bukan ajengan!

Gapapa deh, cari aja. Pas nemu kayaknya emang cuma mitos-mitos doang, tapi tetep aja horor, bikin galau. Pas bilang lagi ke Ibu, ‘Mah, tadi malem aku dimarahin.’, katanya, ‘Iyalah! Melihara burung hantu emang takut. Suara burung hantu itu pertanda kalo ada anak perempuan yang hamil di luar nikah, tau!’

Hm…

From here:

Ke palasari aja yuk nyari buku……………………..

(Entri lama, sebenernya. Cuma sayang aja cuma kesimpen di draft tumblr)

Agak galau dua hari gara-gara terjebak di Bandung dan gak bisa ke WBD, padahal dua hari ini juga gak gawe gara-gara galau. Nyampah di rumah, beresin tugas yang gak kelar-kelar. Entah beneran gara-gara WBD atau hal-hal di luar nalar, tapi dua hari ini perasaan nggak jelas banget. Nggak mood ngapa-ngapain, kerjaan bete terus; padahal PMS jelas udah lewat dan nggak ada hal-hal serius ataupun menarik yang terjadi kemaren dan kemarennya lagi.

Kangen sama anak-anak IH, tapi online atau buka IH pun rasanya nggak mood. Bingung mau ngapain. Bingung mau gimana. Gimanapun nggak pengennya tapi perubahan itu nggak bisa diabaikan lagi, dan yah, katakanlah orang berubah. Aku berubah, mereka juga, dan naif banget ya ngarepin kalo semua bisa jadi kayak dulu.

Semua jadi ngebingungin sekarang, tapi semua juga jadi terlalu ngalir… Sampai rasanya perubahan itu nggak disadari berlangsungnya. Gitu aja. Gitu… aja. Udah. Nyesek. Akhirnya. Nggak suka banget sama perasaan waktu kangen temen-temen lama tapi nggak punya niat buat ngehubungin mereka atau sadar bahwa responnya nggak akan kayak yang diharepin. Kalo 'dulu' gak sama kayak 'sekarang'. Orang-orang keluar-masuk dan mungkin suatu saat waktunya aku yang keluar.

Tapi kalau aku egois dan nggak mau keluar, gimana?

Manusia datang dan pergi, Sayang
Seperti desir angin
Seperti rintik hujan

Masih kita, tapi kita di tempat yang berbeda
Masih kita, tapi kita dengan orang yang tak lagi sama
Masih kita...
Tapi bahkan kini kita bukan kita saat pertama kali kita berjumpa.

Salahkan waktu
Yang tak pernah ingin melihat kita jalan di tempat
Yang selalu gatal mengobrak-abrik hati dan
Persepsi

Teman, akan jadi apa kita tiga--empat tahun lagi?

Oh ya, kita tak lagi muda dan kini persepsi jadi amat penting

Tak bisa terus menerus jadi kain bendera, yang berkibar seiring angin berhembus

Kita kini pohon berkayu keras, yang akarnya telah merambat dalam dan berdiri di atas kaki-kaki sendiri

Aku nahkoda di bahteraku

Layaknya Nabi Nuh sebelum banjir

Naik

Atau tidak

Kuserahkan pilihan padamu

Dan mereka

Bagaimanapun cintanya aku pada daratan

Ketika ia tak menghendakiku tetap menjejak

Untuk apa aku bertahan?

Kepada daratan, tempat yang ingin kulabuhi: selamat tinggal.